Jumat, 14 Oktober 2011

Trip to Petang Bag.1 (dihadang Ngaben)

2 oktober 2011 jatuh pada hari minggu, dimana saya biasa mengisi waktu diujung senin sampai sabtu yang cukup sibuk untuk melangkah kan kaki kemana saja yang kebanyakan adalah tempat-tempat yang belum pernah saya injaki sebelumnya. Dan tertuju lah saya pada desa Petang. Memang tidak sebegitu terkenal seperti kuta, nusa dua, tanjung benoa, ubud, sanur, dan daerah-daerah lainnya, tapi bagi saya atmosfer wisata bali sudah meluas hingga ke daerah-daerah pedesaan sekalipun. Di biarkan saja tanpa ada nya campur tangan investor yang mengatasnamakan industry pariwisata pun, mereka masih sangat-sangat menarik dengan kealamian nya.
Tujuan utama wisata di petang adalah air terjun Nungnung. Kenapa kok dinamai air terjun nungnung? Yahh, begini. Air terjun nungnung, ya karena ada air yang jatuh kebawah dari dataran yang lebih tinggi ke dataran yang lebih rendah dengan debit air yang cukup besar hehe, dan istilah keren nya disebut Air terjun. Kenapa kok tidak air jatuh saja yahh? J dan nungnung, karena air terjun nya ada di Banjar (lingkungan) nungnung. Makanya namanya jadi Air Terjun Nungnung.

Untuk mencapainya, tidak ada kendaraan umum yang lalu lalang disana. Jadi kendaraan pribadi lah pilihannya. Dari denpasar Air terjun nungnung yang berada di desa Plaga kecamatan Petang dan kabupaten badung bisa di capai dengan perjalanan sekitar 1,5 jam dan sekitar 40-an km kearah utara. Melewati pura bukit sari di sangeh yang dikenal terdapat banyak hewan kesayangan nya Hanoman. Jadi bisa sekalian mampir untuk sekedar nyamain muka hehe. Setelah dari sana kita masih harus terus menempuh perjalanan melewati jalur hijau.  ya jalur hijau biasa orang menyebut nya, karena di kanan kiri jalan, mata kita akan dimanjakan oleh hijau nya alam bali. Terasering, hutan, bukit dan daratan bali yang bergelombang, seakan memanggil-manggil lensa kamera kita untuk segera menangkap nya.

Setelah itu disisi kiri jalan ada papan petunjuk “Nungnung Waterfall” belok kiri, tapi jangan langsung ikuti petunjuk. Terus saja dulu dan abaikan sejenak tentang air terjun nungnung karena akan saya arahkan perjalanan menuju ke Tukad Bangkung. Ngomongin tentang tukad bangkung, tukad bangkung adalah jembatan yang di klaim sebagai jembatan tertinggi di Asia sekaligus jembatan paling tinggi di dunia yang pernah saya lihat dengan mata kepala saya sendiri. Itu karena saya belum pernah jalan kemana2 hehe. Mengenai tingginya, informasi yang saya dapet dari asisten saya bernama mbah google, jembatan ini memiliki pilar tertinggi 71,14 meter, dan pondasi pilar 41 meter di bawah tanah.

Dan inilah kisah perjalanan nya.. cekidot-dot-dot-dot….. hehe

Di pagi yang agak siang itu ( telat bangun), matahari sudah dengan congkak nya bersinar seakan menertawakan saya yang kala itu masih belum bisa membuka mata dengan sepenuh hati, eh sepenuh jiwa, ahh pokoknya mata saya belum mau terbuka penuh hanya terbuka sedikit-sedikit karena silau. Tapi kekuatan sinar semangat saya lebih besar dari sinar matahari yang menyengat di pagi yang agak siang itu. mungkin panggilan alam di setiap hari minggu kale yaa, dari jaman nya saya masih makan bangku SD dulu, saya suka sekali dengan yang namanya hari minggu hahaha… (ups..)

Karena rasa penasaran akan air terjun nungnung sudah nyampe di ubun2, apalagi dengan jembatan yang di klaim sebagai jembatan paling tinggi di asia itu, tetap saja saya pacu kuda besi dari Nusa dua  menelusuri kota denpasar yang panas dan panas sekali waktu itu. Sebenarnya untuk mencapai desa petang dari arah denpasar kita bisa lewat jalan ahmad yani terus ke utara hingga sampai di desa mambal, setelah itu cari jalan ke arah sangeh. Dan jangan khawatir karena petunjuk jalan juga sangat membantu. Tapi waktu itu saya lewat batubulan – gianyar, yaahh dasar tukang habis-habisin minyak. Lewat desa singapadu yang dikanan kiri jalan terdapat banyak patung-patung budha dan kerajinan patung –patung lainnya. Sungguh pemandangan yang unik. Sekalian bisa singgah di bali bird park kalo mau.

Setelah sampai di desa abiansemal jalan ke desa mambal, saya di hadang oleh iring-iringan upacara ngaben salah seorang terkemuka yang meninggal di daerah itu. Dan tentu saja ini membuat matahari semakin menjadi-jadi menyurutkan semangat saya. Tapi bagi saya upacara kematian (ngaben) adalah sebuah tontonan gratis. Karena prosesi pemakaman nya berbeda dengan ritual kematian yang saya kenal dari saya kecil dulu. Dimana salah satu prosesi nya adalah jasad dikubur, lain halnya dalam ngaben yaitu adanya prosesi kremasi (dibakar). Ini kali ketiga saya melihat upacara ngaben. Dan kali ini saya tidak mengikuti prosesi upacara hingga selesai (dari pertama emang belum pernah sampai selesai sih). Karena perjalanan harus terus berlanjut, jadi cuma bisa lihat sampai iring-iringan nya saja.

Wadah / Bade

Lembu yang terbuat dari kertas dan kayu
Bade beserta iring-iringan lengkap dengan kain penuh makna

Ada wadah yang biasa mereka sebut Bade. Dan lembu yang terbuat dari bambu, kayu, dan kertas beraneka warna-warni sangat menarik. Di wadah inilah jasad orang yang meniggal bakal ditaruh setelah di mandikan dan di pakaikan pakaian adat bali. Ada kain putih yang menghiasi bade tersebut memanjang kedepan yang mereka yakini sebagai pembuka jalan bagi sang arwah menuju tempat asal nya. Kemudian bade dan lembu di usung ramai-ramai menuju tempat kremasi. Mengusung bade tidak sejalan lurus, melainkan seperti dipontang-pantingkan guna mengacaukan arwah-arwah jahat yang mau menghampiri sang arwah menuju ke tempat asalnya. Bade diputar sebanyak tiga kali, kalo saya tidak salah ngitung waktu itu yang berarti sang arwah berpamitan kepada keluarga yang ditinggalkan nya.

Di iringi dengan musik gamelan-gamelan bali, acara ini meriah dimana tidak ada isak tangis keluarga atau kerabat yang ditinggalkan. Mereka meyakini tanpa isak tangis, sang arwah dapat menuju ke tempat asalnya dengan tenang.

Nantinya, lembu yang juga ikut diusung ramai-ramai ke tempat kremasi itu akan menjadi tempat dibakarnya jasad hingga menjadi abu. Dan abu tersebut akan dikembalikan kepada air dan angin. Setelah semua proses ngaben selesai, keluarga yang di tinggal dapat berdoa di pura keluaga dan menghormati arwah leluhur mereka. Inilah yang saya kagumi dari masyarkat di bali. Mereka sangat menghormati arwah leluhur-leluhur mereka yang artinya ikatan keluarga masih ada meskipun sudah meninggal dunia. Dan mereka mempunyai keyakinan bahwa nantinya leluhur-leluhur mereka akan mengalami reinkarnasi atau kehidupan kembali tergantung dari bagaimana amal dan ibadah leluhur mereka semasa hidup nya untuk kembali merintis kehidupan di pulau bali yang di cintainya.

bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar