Pura Uluwatu, salah satu tujuan wisata saya kali ini (mumpung lagi berdomisili di bali) adalah salah satu pura dari beribu-ribu pura yang ada dibali. Beda nya Pura Uluwatu merupakan pura besar ,sudah sangat kuno, dan begitu penting di jagat Bali. Terletak di desa Pecatu, kecamatan Kuta Selatan, kabupaten Badung. pura ini berada diatas tebing terjal dengan ketinggian sekitar 80-90an meter (belum ng-ukur secara pasti) yang menjulang ke arah laut samudra hindia, dimana terkenal dengan keindahan alamnya di senja hari. Ini juga menjadi alasan kenapa bernama Uluwatu, Ulu yang berarti ujung dan watu yang berarti batu.
Menurut informasi singkat yang saya dapet, Pura ini dibangun pertama kali oleh seorang pendeta yang berasal dari tanah jawa bernama Empu Kuturan di abad ke-11. Ia juga mengajarkan bagaimana desa adat dan segala aturan-aturannya, yang kemudian dilanjutkan oleh pendeta berikutnya yang juga berasal dari jawa yaitu Dang Hyang Nirartha sekitar empat abad kemudian sekaligus menjadikan tempat ini menjadi tempat moksa nya. Dimana ia juga membangun pura yang juga begitu terkenal sampai ke mancanegara. Tanah lot
Menurut informasi singkat yang saya dapet, Pura ini dibangun pertama kali oleh seorang pendeta yang berasal dari tanah jawa bernama Empu Kuturan di abad ke-11. Ia juga mengajarkan bagaimana desa adat dan segala aturan-aturannya, yang kemudian dilanjutkan oleh pendeta berikutnya yang juga berasal dari jawa yaitu Dang Hyang Nirartha sekitar empat abad kemudian sekaligus menjadikan tempat ini menjadi tempat moksa nya. Dimana ia juga membangun pura yang juga begitu terkenal sampai ke mancanegara. Tanah lot
Pura Uluwatu (paling ujung) |
Sejarah maupun legenda dan makna artian tentang pura luhur uluwatu ini sengaja tidak banyak saya tuliskan disini, dikarenakan saya bukan seorang hindu yang tentunya tidak begitu mengenal dan ditakutkan ada nya salah informasi nantinya.
Baiklah, sekarang kita bicarakan bagaimana kita bisa sampai di pura luhur Uluwatu. Berjarak sekitar 40 km dari denpasar, kita bisa mencapai nya kurang lebih 1 jam tapi mungkin bisa 45 menitan dari denpasar. Tetapi berhubung saya tinggal di Nusa dua, jadi perjalanan bisa di tempuh dengan waktu kurang dari setengah jam saja. Jalan menuju ke pura Uluwatu satu jalur dengan jalan menuju ke GWK (Garuda Wisnu Kencana). Bagi yang masih belum tau, petunjuk di sepanjang jalan sudah cukup jelas kok selama masih tidak enggan membaca. Jalan nya pun ber-aspal mulus dengan jalan agak naik-turun, yaaahh nama nya juga melewati daerah bukit.
Sesampainya disana harga tiket masuk nya hanya membayar sewa lokasi parkir kendaraan saja. Dimana pengunjung dengan berkendara mobil dikenakan biaya parkir cuma sekitar 3 ribu rupiah, dan untuk pengunjung dengan berkendara motor cuma di kenakan biaya seharga sebungkus kerupuk,, seribu rupiah, murahh meriaah kan?
Oh iyaa,, saya belum memperkenalkan teman jalan yang menemani saya dan bersedia jadi porter selama di pura uluwatu, dimana ini menjadi perjalanan pertama bagi saya dan juga dia. Namanya Frans Neno Bais, bocah seusia saya ini berasal dari indonesia bagian timur, mungkin kalo masih inget cuplikan iklan salah satu brand air minum yang paling di gemari di indonesia yang isi nya begini. “sekarang sumber air sudekat.Beta sonde pernah terlambat lagi, Lebih mudah bantu mamak ambil air untuk masak mandi adik. Karna mudah ambil air, katong bisa hidup sehat Bapak ikut bantu jeung rani bapak desa”. Yaahh dari NTT lah dia berasal. Frans, begitu dia biasa dipanggil mempunyai keunikan tersendiri bagi saya.
Kembali ke pura Uluwatu. Pertama kali menginjakkan kaki di kawasan komplek pura uluwatu, saat itu juga rasa penasaran yang belakangan ini menghampri saya kini melebur sudah. Aahhh sudah nyampek saya ditempat ini, seperti biasa sebelum saya mengunjungi suatu tempat yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya, saya melakukan sebuah riset kecil untuk mengetahui sedikit informasi yang saya perlukan untuk sekedar tahu keadaan di suatu tempat tersebut. Dan internet lah pilihan nya.
Untuk memasuki komplek pura uluwatu ini, pengunjung harus menggunakan pakaian adat setempat seperti selendang berwarna kuning dan kain sarung berwarna ungu yang di pinjamkan disini. Setelah selendang kuning di ikatkan ke pinggang, kami pun bersiap memasuki komplek pura. Tapi dalam benak saya ada tanda tanya, tidak lengkap rasanya memakai selendang yang di ikat di pinggang tanpa mengetahui apa maksud dan tujuan nya. Beda lagi yang di rasakan si Frans teman jalan saya ini, tidak lengkap rasanya memakai selendang di pinggang tanpa kain sarung berwarna ungu seperti yang di pakai seorang pengunjung laen di depan kami. Karena sama-sama ada keganjalan di hati kami masing-masing, akhirnya kami putuskan untuk kembali ke tempat peminjaman selendang dan sarung dengan tujuan mengambil sisa-sisa keganjalan kami yang tertinggal disana.
Sesampainya disana terlihat seorang yang sedang bertugas sepertinya sudah siap melahap sebuah pertanyaan yang akan saya lemparkan kepadanya. Dengan melebarkan kedua sudut bibir dan agak melihatkan sedikit gigi saya, saya lemparkan sebuah pertanyaan kepada petugas tersebut, “pak kenapa ya, saya harus memakai kain ini?”. Dengan mantap dia menjawab “yaa, karena disini merupakan tempat suci, makanya kita diharuskan memakai kain itu untuk diikatkan di pinggang dan juga bertujuan untuk mengikat niat-niat jelek kita selama di dalam komplek pura Uluwatu ini.” Cukup puas dengan jawaban yang diberikan, mau tidak mau saya harus mengikuti aturan-aturan yang telah di ada disini sebagai wujud apresiasi. Lain hal nya dengan si Frans, dia seperti nya sibuk memilih kain sarung mana yang cocok untuk dirinya sebelum akhirnya ada kejadian yang bikin saya sedikit keheranan. Disela-sela kesibukannya mencari kain sarung, ada petugas yang mengambil kain sarung yang sudah menjadi pilihan si Frans dan digantikan dengan kain selendang yang tadi dikembalikan sambil berkata “pakai yang ini saja dik”, yang selanjutnya kain sarung yang berasal dari tangan si Frans tadi itu di berikan kepada orang yang berdiri disamping Frans dengan ciri-ciri bertubuh tinggi,berkulit putih berbulu, dan mempunyai rambut berwarna mirip bulu jagung (baca bule). Haah masih ada juga yang kayak-kayak gini dari jaman nya nenek masih maen petak umpet sampai jamanya handphone 3G guman ku. Dengan muka yang agak kecewa si Frans aku bantu mengikatkan kain selendang berwarna kuning itu ke pinggang nya.
Tingkah Kera di Uluwatu |
Masuk ke komplek pura, wajah lungset si Frans tiba-tiba berbalik 180 derajat. Seperti menemukan saudaranya yang sudah lama tidak jumpa, si Frans menjadi ceria berbanding terbalik dengan saat saya sedang membantu nya mengikatkan kain selendang di pinggang nya. Itu semua karena ulah monyet-monyet yang menghiasi hampir tiap-tiap tempat di lokasi komplek pura Uluwatu ini. Tingkah nya jail, suka mengambil barang-barang bawaan pengunjung, saya sarankan jika masuk kawasan ini hendak lah berhati-hati dengan barang bawaan yang mudah diambil oleh si monyet seperti kalung, anting, kacamata, ikat rambut, topi, sandal dll. Jika kita kecurian di pasar atau dijalanan, mungkin kita bisa berteriak kepada orang-orang disekitar penglihatan kita. Nah disini jika kita kecurian oleh beberapa monyet yang hobby nya memang mengambil barang-barang bawaan pengunjung, kita juga bisa minta pertolongan kepada para pawang monyet supaya barang kita yang tercuri bisa kembali ke tangan kita. Sebenernya sederhana sih cara pawang-pawang ini mengambil kembali barang yang direbut oleh si monyet, mereka memberikan makanan seperti pisang, mentimun, ketela, snack, wafer, coklat, dan makanan ringan lain nya. Dengan cara demikian, mereka mau melepaskan barang hasil rebutan dari pengunjung untuk digantikan dengan makanan. Mungkin dalam benak monyet juga mempertimbangkan daripada makan sandal mending makan coklat. Ada segi positif nya juga dengan tingkah laku monyet-monyet yang suka jail itu, mereka memberikan mata pencaharian bagi pawang-pawang monyet untuk menyambung denyut kehidupan nya dan tentunya hiburan bagi saya… hehe hiburan diatas penderitaan orang laen yang sedang kecurian.
Selain monyet-monyet berkeliaran yang saya tidak tahu jenis nya dan berapa populasi nya, disini saya disuguhkan pemandangan alam yang sangat luar biasa. Samudra hindia yang berada tepat di depan mata saya yang berdiri di atas tebing berketinggian sekitar 90-an meter, kembali menyadarkan saya bahwa alam negeri ku sangat-sangat luar biasa. Entah kenapa rasa nasionalisme saya bertambah saat itu juga. Dan ini tidak lengkap rasanya kalau tidak saya tangkap gambarnya menggunakan kamera poket hasil pinjaman dari teman saya. Jeprat-jepret pun dimulai dengan latar belakang samudra hindia hingga akhirnya membawa saya pada perbincangan sesaat bersama orang berambut jagung yang juga sedang asyik menikmati alam ciptaan-Nya yang dititipkan kepada negeri ku. Meskipun awal nya saya tidak tahu dia berkebangsaan apa dan bahasa apa yang di turunkan oleh ibunya, saya pun memberanikan diri dengan bermodalkan bahasa inggris-ngawur yang saya dapat dari jaman saya makan bangku sekolah dulu. Dan perbincangan pun dimulai dengan harapan dia mengerti dengan bahasa inggris-ngawur yang saya gunakan. Seperti biasa obrolan ringan yang saya tanyakan seperti nama dan kebangsaan. Frank, begitu dia mengakui nama nya yang berasal dari negeri ayam jago prancis. Frank datang ke indonesia berlibur bersama istrinya. Dan saat dia tanya saya berasal darimana, dia sempat salah pendengaran karena dia mengira saya berasal dari negeri matahari terbit jepang. Yang Frank dengar dari ucapan saya adalah “Japanese” bukannya “Javanese”, sebelum saya jelaskan bahwa saya orang pribumi asli. (Masak sih Frank, wajah saya kayaknya tidak menunjukkan wajah ke jepang-jepangan sedikitpun deh). Dia pun menyatakan kekagumannya akan keindahan alam nusantara dan kehebatan nenek moyang kita membangun pura ditempat fantastis seperti ini. Iya Frank, yang hebat itu nenek moyang ku dulu, sekarang?.
![]() |
bersama Frank n istri (atas) bersama Salman (kiri bawah) bersama Frans (kanan bawah) |
Saat sore hari mulai menjelang dan matahari bersiap kembali ke peraduan nya, kita bisa menikmati tari kecak dengan latar belakang samudra hindia dan sunset dengan cukup mengeluarkan uang sekitar Rp.70.000,-. Tapi bagi saya dan frans saat itu, si uang kayaknya masih belum mau keluar dari tempat penyimpanan nya. Tidak apa lah kunjungan kali ini tanpa di hiasi tontonan tari kecak. Hari pun sudah gelap dan kami bergegas untuk pulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar